Pernikahan yang sehat bukanlah pernikahan yang tidak pernah konflik, tetapi bisa menyelesaikan konflik dan setelah itu masing-masing semakin mengenal dan mengasihi satu sama lain. Kemudian RELASI suami istri akan semakin bertumbuh.
Banyak persoalan hubungan suami istri yang akar sebenarnya terletak pada komunikasi.
Komunikasi adalah mendengarkan dan mengerti apa yang ingin disampaikan orang lain dengan rasa empati yang tepat. Komunikasi yang baik melibatkan kegiatan berbicara, mendengarkan, mengerti dan bertindak. Komunikasi yang buruk merupakan masalah nomor satu dalam pernikahan. Ini adalah penyebab utama perpisahan dan perceraian. Banyak orang tidak menyadarinya, karena mereka menghubungkan masalah-masalah mereka dengan sebab lain. Tetapi, jika komunikasi terjalin dengan baik dan suami istri mempunyai kemampuan berbagi secara terbuka, maka suami istri akan dapat menyelesaikan masalah keuangan, hubungan intim, dan anak-anak.
Bentuk komunikasi :
– Kata-kata = 7%
– Intonasi suara = 38%
– Body language /facial language = 55%
Komunikasi bukan hanya apa yang kita katakan, tapi bagaimana pasangan kita memahami apa yang kita katakan.
Ada beberapa level dalam komunikasi. Evaluasilah level komunikasi yang sering dilakukan dengan pasangan Anda.
- Low level communication
Adalah komunikasi antara suami-isteri tentang hal-hal yang terjadi di luar pasangan suami-isteri. Contohnya adalah komunikasi basa basi : “Hai, apa kabar? Cuaca hari ini baik ya?” Atau tentang berita di surat kabar, atau membicarakan peristiwa yang menyangkut orang lain.
- Medium level communication
Adalah pembicaraan antara suami-isteri tentang hal-hal yang berhubungan dengan keluarga, misalnya tentang pekerjaan, pelayanan, tentang anak-anak, dan lainnya.
Misal : “Saya bekerja hari ini, waktu pulang ke rumah, saya mampir ke supermarket untuk membeli susu, kemudian ketemu dengan teman.
- High level communication
Adalah pembicaraan suami-isteri yang berisi keterbukaan atau transparansi total, baik menyampaikan pikiran, perasaan dan harapan masing-masing ataupun membicarakan hal-hal yang perlu diperbaiki. Tujuan dalam hubungan pernikahan dan keluarga adalah mencapai level komunikasi ini, di mana pasangan dapat benar-benar berbagi secara bebas tentang apa saja. Pada level ini, artinya pasangan sudah mencapai keintiman dalam komunikasi.
Nah, banyak pasangan yang tidak terbiasa di level komunikasi bahkan hampir ga pernah. Mereka bisa menarik diri di komunikasi seperti ini dan kembali pada tingkat komunikasi kedua bahkan yang pertama.
Di sini ada menyampaikan pemikiran, tapi sudah konflik. Kemudian juga tidak terbiasa untuk menyatakan perasaan. Saat menyampaikan perasaan, pasangannya tidak bisa memahami.
Akibatnya : banyak pasangan merasa tidak dipahami, tidak dimengerti, tidak mengenal pasangannya… Dan seperti bu Hilda, merasa relasi suami istri menjadi dingin…
Di sinilah pentingnya suami istri belajar ketrampilan berkomunikasi…
Jadi, membangun komunikasi yang intim (high level communication) merupakan langkah utama untuk menghadirkan sebuah kondisi rumah tangga yang harmonis. Namun, komunikasi yang baik tidak dapat tercipta dengan sendirinya, dibutuhkan usaha dari kedua belah pihak untuk mewujudkannya.
Bagaimana agar pasangan dapat mencapai high level communication ?
Ada beberapa tips sebagai berikut :
- Buatlah keputusan untuk meningkatkan komunikasi.
Sebagaimana kita mengasihi pasangan kita adalah sebuah keputusan, bukan sekedar emosi atau perasaan, demikian juga kita harus membuat keputusan bahwa kita ingin meningkatkan ketrampilan berkomunikasi kita.
- Persiapkan waktu untuk berkomunikasi dengan pasangan.
Berbicaralah pada keadaan yang tepat, sebagai contoh : jangan di tengah-tengah kesibukan atau kelelahan yang sedang dialami oleh pasangan kita.
Tentukan waktu yang tepat jika keduanya sangat sibuk. Buatlah janji untuk kencan berdua agar dapat berkomunikasi dengan suasana senyaman mungkin.
Hindari berkomunikasi dalam suasana kemarahan.
- Belajar untuk menjadi pendengar yang aktif.
Tuhan memberikan dua telinga dan satu mulut dengan tujuan supaya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Agar dapat menjadi pendengar yang baik, cobalah menghentikan aktivitas lain saat mendengarkan pasangan berbicara, kemudian perhatikan apa yang tersirat bukan apa yang tersurat, serta belajarlah mengerti apa yang dimaksud oleh pasangan kita.
Belajar active listening = cropess (clarifications, reflection, open closed questions, encourangement, summarising, silence). Bukan cuma dengan telinga saja.
Mendengar dengan aktif = mendengar dengan mata = eye kontak & lihat bahasa tubuh.
Dengan hati = fokus dan memahami apa yang disampaikan pasangan.
Mendengar bukan untuk merespon, tapi mendengar untuk menangkap dan memberikan tanggapan yang tepat sehingga pasangan merasa bahwa dia benar-benar didengarkan.
Hindari respon yang membuat block dalam komunikasi seperti : nasehat, penghakiman, meremehkan, mengkritik, merasa sudah tau jawabannya.
Encourage = bukan kritik…
Unsur komunikasi :
– Kata-kata = 7%
– Intonasi suara = 38%
– Body language /facial language = 55%
- Sampaikan ungkapan, perasaan dan harapan secara asertif, bukan provokatif.
Komunikasi yang provokatif adalah komunikasi yang saling menyerang, menyalahkan bahkan menyudutkan. Contoh : “Mengapa kamu selalu tidak pernah punya waktu untuk saya?” “Kamu memang tidak pernah berubah !” “Kamu selalu bicara kasar !”
Contoh kata-kata yang perlu dihindari :
- Kamu tidak pernah
- Kamu selalu
- Kenapa kamu tidak bisa seperti …..
- Apakah kamu bisa berubah ?
- Kenapa kamu ga pernah berubah…
- Kenapa kamu ga pernah belajar…
Tetapi di dalam komunikasi asertif, kita menjelaskan tentang pikiran, perasaan, kebutuhan dan harapan dengan ekspresi yang tenang dan sabar serta menggunakan pilihan kata yang tidak menyerang orang lain. Perhatikanlah contoh berikut ini :
- “Saya merasa bahwa kita membutuhkan waktu berdua lebih banyak lagi.”
- “Saya melihat bahwa ada hal-hal yang perlu ditingkatkan untuk menjadi lebih baik.”
- “Saya akan merasa nyaman apabila kamu bisa bicara lebih lembut.”
- “Waktu ini terjadi, saya merasa…. “
Jadi saat menyampaikan ini, berarti kita sedang membicarakan perasaan kita… Bukan sedang
menyerang pasangan, walaupun kita sedang membahas sebuah masalah.
- Gunakan pernyataan pesan “Saya”. Daripada “kamu”. Menyampaikan perasaan tanpa menyerang/menuduh pasangan. Misal: “Sory, saya tadi pagi kecewa karena Papa batalkan janji mendadak…”. Jangan gunakan kalimat ini: “Itulah, Papa memang tidak bisa dipercaya, janji tapi selalu tidak menepati…!”
- Mencoba menggunakan kata “kita”, walaupun kita merasa bahwa kita bukan bagian dari problem itu. Ini menunjukkan bahwa kita juga memiliki inisatif dan tanggung jawab untuk mencari solusi.
Nah, di sini kita bisa melihat perbedaan antara kedua jenis komunikasi tersebut. Materi dan tujuan pembicaraan yang sama dapat disampaikan dengan cara yang lebih baik.
- Bersedialah mengakui dan minta maaf jika kita ada kesalahan. Bersedialah mengampuni jika ada perkataan pasangan yang mungkin menyakitkan.
Ketika tidak ada kesediaan untuk mengakui kesalahan, maka komunikasi akan terhenti. Kita bisa bilang : saya telah melakukan kesalahan, saya salah memahami, salah mengerti, mengatakan hal yang keliru, dan berlaku salah, maka ada kesembuhan.
Ingatlah bahwa pernikahan seperti sebuah taman. Taman yang baik dan sehat dipelihara setiap hari.
Dengan cara yang sama, hubungan pernikahan kita perlu dirawat secara rutin dan teratur.